P perekonomian Indonesia mengalami pelemahan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir. Kelesuan mulai terasa sejak pertumbuhan ekonomi turun di bawah 6% pada tahun 2013. Perlu juga diketahui, karakateristik perlambatan pertumbuhan ekonomi periode kali ini cukup berbeda dengan perlambatan maupun krisis yang kita pernah alami sebelumnya. Kalau kita kilas balik ke krisis 1998, ekonomi kita mengalami shock dan hantaman yang sangat kuat. Kita mengalami resesi besar atau bahkan bisa dikatakan depresi, ketika pertumbuhan ekonomi mencatat rekor negatif 13%.
Belum lagi malapetaka di pasar mata uang dan pasar saham. Pemulihan menyusul krisis ini berjalan lambat, karena kita harus membenahi rumah ekonomi kita yang porak poranda. Tahun 2005 kita mengalami krisis kecil, ketika ekonomi baru mulai beranjak tumbuh, ketika Indonesia mulai percaya diri menyusul trauma krisis 1998. Kita mengalami sedikit guncangan stabilitas ketahanan eksternal pada tahun 2005, anjloknya cadangan devisa, melemahnya rupiah serta naiknya inflasi dan suku bunga menyusul penurunan subsidi BBM. Akar permasalahannya adalah realita ekonomi baru, berubahnya Indonesia dari negara eksportir minyak menjadi net importir minyak. Tapi, segera ekonomi kita terus melaju. Tahun 2008, ekonomi dan terutama pasar keuangan kita mengalami shock yang cukup besar karena faktor global yaitu krisis keuangan dunia yang bermula dari krisis KPR di AS.
Apr 17, 2018 - Ekonomi Global: Kabar Baik Sementara Ini, Walau Ketegangan. Dagang di saat ekspansi ekonomi sedang meluas, mungkin tampak bagai. Realisasi pertumbuhan ekonomi tahun ini, diperkirakan meleset dari target atau hanya tumbuh 5,05%; Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada hari ini menggelar dialog perkembangan makro fiskal 2017 dan langkah-langkah kebijakan makro fiskal 2018 bersama kalangan pengusaha dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
Namun, momentum pertumbuhan domestik masih solid, dan ekonomi RRC juga terus tumbuh dengan kuat yang mejadi dukungan eksternal bagi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia segera kembali on track.
Namun, kali ini, tidak ada shock yang spesifik, yang terjadi adalah perlambatan secara gradual selama beberapa tahun. Dari tahun 2010, 2011, hingga tahun 2012, pertumbuhan ekonomi masih sangat sehat di atas 6%, namun melambat pelan-pelan dari 6.2%, menjadi 6.1%, dan kemudian 6.0%. Perlambatan agak tajam mulai terjadi tahun 2013, ketika pertumbuhan turun di bawah 6% menjadi 5.5%, dan tahun selanjutnya jatuh di kisaran 5%, yang berlanjut hingga hari ini. Perekonomian Indonesia Era SBY Terlepas dari krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008, yang juga mempengaruhi pasar dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, secara umum pertumbuhan ekonomi sangat baik selama dua periode di bawah pemerintahan SBY. Tidak hanya karena pertumbuhan tahunan beberapa kali mencapai di atas 6%, tetapi juga feel good factors dimana pertumbuhan itu sendiri mengalami percepatan, stabilitas politik membaik.
Sebelumnya, ekonomi Indonesia masih berkutat dan berbenah-benah setelah porak poranda menyusul krisis besar tahun 1997/1998. Selain pengelolaan ekonomi yang lebih baik dengan berbagai perbaikan di banyak sisi, periode di bawah Presiden SBY juga memperoleh berkah eksternal yang sangat besar. Periode itu ditandai dengan meledaknya pertumbuhan ekonomi RRC, yang mentransformasikan negara RRC dalam waktu relatif singkat menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, salah satu keajaiban dalam sejarah perekonomian modern dunia. Pertumbuhan luar biasa di RRC, seringkali di atas 10%, membawa berkah bagi seluruh dunia, terutama negara-negara yang memilliki kedekatan secara geografis dan terlibat dalam supply chain dalam produksi domestik RRC. Indonesia sebagai negara produsen komoditas memperoleh manfaat secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, tentunya, melalui aktivitas perdagangan dengan RRC.
Karena ledakan pertumbuhan di RRC mendorong naiknya harga berbagai komoditas dunia, Indonesia juga memperoleh manfaat tidak langsung dengan naiknya harga komoditas produksi Indonesia, baik yang diekspor ke RRC mau pun ke negara-negara lainnya. Booming sektor primer atau sumber daya alam di Indonesia ini tidak hanya memberikan multiplier effect bagi ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga membawa aliran devisa (mata uang asing) ke Indonesia. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dengan tetap mempertahankan surplus dalam neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Cadangan devisa Indonesia juga tumbuh cukup pesat, yang berarti terjadi kelebihan devisa setelah memenuhi kebutuhan kewajiban perdagangan internasional. Akan tetapi, jika kita menoleh ke belakang lagi, sepertinya Indonesia cukup “terlena” dalam periode tersebut. Motivasi dan insentif untuk membangun kapasitas produksi dalam negeri tidak terlalu kuat. Kebutuhan permintaan dalam negeri yang tidak dapat dipenuh oleh produksi lokal dipenuhi dengan cara impor.
Toh, kita memiliki devisa hasil dari ekspor komoditas, untuk membayar impor-impor tersebut. Semua berjalan baik hingga perekonomian RRC mulai mengalami perlambatan pertumbuhan terutama sejak tahun 2012. Dampak perlambatan pertumbuhan di RRC terasa pada turunnya harga komoditas dunia, termasuk komoditas yang diproduksi dan diekspor oleh Indonesia.
Tak pelak lagi, hal ini mengganggu sumber pertumbuhan dan juga sumber devisa Indonesia. Akibatnya, selain dampaknya pada aktivitas sektor sumber daya alam dan terkait, dan multiplier effect-nya, Indonesia tidak memiliki devisa yang cukup lagi untuk mengimpor berbagai barang dari luar negeri, baik untuk kebutuhan konsumsi atau pun barang input dalam proses produksi dalam negeri.
Sementara di sisi lain, kita belum membangun kapasitas dan kemampuan produksi sendiri yang cukup. Tak ada pilihan lain kita harus mengurangi impor, yang memberikan implikasi negatif lebih lanjut pada aktivitas ekonomi dalam negeri. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan RRC Bergerak Seiring dalam 10 tahun terakhir. Era Presiden Jokowi Dimulai Pertumbuhan ekonomi baru saja memasuki proses perlambatan ketika Presiden Jokowi mengambil tampuk kepemimpinan. Harapan sangat besar pada pemerintahan baru untuk bisa membawa ekonomi tumbuh seperti tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi dengan lingkungan yang berbeda, tanpa berkah dari kenaikan harga komoditas, pemerintahan yang baru harus mencari model pertumbuhan yang sesuai.
Fokus ditujukan pada penambahan kapasitas produksi dalam negeri dan peningkatan efisiensi aktivitas ekonomi secara keseluruhan, produksi, logistik, distribusi, dan lain-lain. Membangun berbagai infrastruktur merupakan prioritas.
Struktur belanja negara disesuaikan untuk mendukung arah baru kebijakan ekonomi ini. Subsidi yang dianggap kurang produktif dan tidak tepat sasaran, seperti BBM dan listrik, dikurangi secara drastis.
Sebaliknya anggaran untuk pembangunan berbagai infrastruktur ditingkatkan. Berbagai proyek infrastruktur jalan, pelabuhan, energi, air bersih, dan lain-lain coba dikebut oleh pemerintahan baru. Lepasnya Indonesia dari jebakan subsidi yang populis, merupakan prestasi yang patut diacungi jempol. Walau proses ini telah dirintis pelan-pelan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Namun, setelah tiga tahun pemerintahan baru, belum nampak pemulihan ekonomi yang berarti. Pertumbuhan PDB riil masih berkutat di sekitar 5%. Pada lapisan masyarakat tertentu terasa pertumbuhan daya beli melambat atau bahkan stagnan. Rendahnya tingkat inflasi di satu sisi harus disyukuri, akan tetapi di sisi lain juga menjadi sinyal yang mengkhawatirkan karena seolah-olah mengkonfirmasikan lemahnya daya permintaan. Mana Pemulihan? Pemulihan lambat terjadi karena beberapa hal: 1) Lingkungan global/eksternal; 2) Progress reformasi struktural dan pembangunan infrastruktur; 3) Konflik reformasi struktural dan realitas jangka pendek Lingkungan eksternal atau perekonomian global belum banyak berubah. Sumber-sumber pertumbuhan baru dunia untuk menggantikan RRC belum nampak jelas dalam 5 tahun terakhir.
Harga komoditas baru sedikit membaik belakangan, itu pun masih jauh dari harga pada periode-periode sebelumnya dan belum menunjukkan tren yang definitif. Negara-negara berekembang besar BRICS yang lain malah berkutat dengan resesi. RRC memfokuskan diri untuk untuk menghindari crash landing pada ekonominya. Fokus mereka lainnya adalah me- rebalance perekonomiannya, dari yang berorientasi ekspor dan investasi menuju ekonomi yang lebih berbasis industri maju, jasa, dan konsumsi. Secara struktural hal ini tidak membantu banyak dalam meningkatkan permintaan pada barang komoditas Indonesia.
Perekonomian AS dan belakangan perekonomian Eropa juga menunjukkan sinyal-sinyal pemulihan, namun belum secara signifikan memberikan dukungan yang berarti, karena porsi perdagangan Indonesia dengan kawasan tersebut. Dan terlebih lagi dengan munculnya gerakan populis dan inward looking di beberapa negara maju, termasuk terpilihnya Donald Kalera Trump sebagai presiden AS. Reformasi Struktural Kemudian dari dalam negeri, usaha-usaha perbaikan struktural seperti pembangunan infrastruktur dan kapasitas produksi, belum sepenuhnya memberikan hasil. Pembangunan infrastruktur dan manufaktur, secara natural, memakan waktu bertahun-tahun. Artinya nilai tambah dari infrastruktur baru ataupun fasilitas produksi baru terhadap perekonomian belum terasa hingga proses pembangunan selesai. Akan tetapi setidak-tidaknya protes pembangunan infrastruktur itu sendiri berkontribusi pada aktivitas ekonomi berjalan. Selain itu, kebutuhan pendanaan sangat besar dan kemampuan keuangan pemerintah terbatas, khususnya ketika pertumbuhan ekonomi melemah seperti saat ini, tentu pertumbuhan jumlah pajak yang dapat dipungut juga menurun.
Berbagai upaya untuk mensiasati kebutuhan pendanaan ini dilakukan pemerintah, namun ada batas-batas yang dapat dilakukan. Kebutuhan pendanaan besar ini harus melibatkan pendanaan dari sektor swasta, masyarakat, dan pemodal luar negeri.
Dan, sayangnya infrastruktur industri dan pasar keuangan kita, khususnya pasar modal, belum cukup berkembang untuk memobilisasi dana pasar. Dalam kata lain, untuk membangun infrastruktur fisik, kita perlu membangun infrastruktur keuangan juga. Dan seperti negara berkembang lainnya efisiensi birokrasi dan dinamika politik seringkali masih menjadi batu sandungan. Tapi, yang pasti arah dan kebijakan yang dilakukan saat ini sudah sangat sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia. Konflik Pembenahan Struktural dan Realita Jangka Pendek Pemerintah pada saat ini menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu a) tantangan untuk merubah perekonomian secara struktural untuk meningkatkan kapasitas atau potensi pertumbuhan tanpa terlalu bergantung pada sektor sumber daya alam, serta b) tantangan menghadapi siklus perekonomian yang sedang berada pada titik bawah. Menyeimbangkan dua hal ini tidak gampang ternyata, dan ada trade off satu sama lainnya.
Tujuan yang pertama membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga pemerintah mencoba dengan berbagai cara memaksimalkan berbagai sumber pendapatan. Meski inisiatif tersebut dilakukan dalam kerangka reformasi struktural dan peningkatan kepatuhan pajak, impor, bea, dll. Susah dipungkiri bahwa itu juga dipicu oleh terdesaknya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pendanaan APBN tahun berjalan. Inisiatif pemerintah untuk men squeeze dana dari masyarakat dan korporasi, entah melalui pengetatan koleksi pajak dan bea, dll secara langsung atau tidak, diinginkan atau tidak, menimbulkan “gangguan” pada aktivitas ekonomi berjalan, mendorong pelaku ekonomi mengkalkulasi lagi rencana dan strategi bisnis dan belanja mereka.
Terasa ironis, karena pada siklus pertumbuhan ekonomi yang lemah ini, seharusnya pemerintah memberikan stimulasi dan kelonggaran pada sektor swasta dan rumah tangga, atau kebijakan fiskal yang ekspansif. Pemerintah memang sudah melakukannya dengan sedikit melebarkan defisit anggaran. Namun, pelonggaran atau pengetatan dari kebijakan pemerintah tidak hanya secara kuantitatif, tetapi juga kualititatif, bagaimana pemerintah mengalokasikan belanjanya, serta dari sinyal-sinyal yang ditangkap sektor swasta dan rumah tangga. Kedepannya Terlepas dari rasa “putus asa” di sebagian kalangan masyarakat, prospek pemulihan ekonomi — setelah sekian lama tertunda — mungkin akhirnya akan tiba. Akan tetapi, seperti proses pelemahan pertumbuhan yang berlangsung pelan-pelan, pemulihan kemungkinan besar pun berlangsung pelan-pelan. RIO DE JANEIRO – Setelah mengalami resesi panjang dalam tahun-tahun belakangan, perekonomian Brazil mulai tumbuh lagi. Lingkungan perekonomian global, on balance, menunjukkan perbaikan.
Perekonomian AS masih tumbuh dengan baik, momentum pemulihan semakin kuat di Eropa, RRC sepertinya mampu menghindari hard landing dan cukup berhasil dalam mentransformasi ekonomi mereka, India terus bangkit dan diharapkan menjadi inspirasi pertumbuhan baru, negara-negara berkembang besar lain seperti Rusia, Brazil, mulai menata diri dan melepaskan diri dari resesi. Tentu, beberapa risiko masih membayang-bayang, mulai dari kebijakan populis di AS, tumpukan hutang di RRC, mau pun isu geopolitik terkait dengan Korea Utara. Dari dalam negeri, investasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir mulai pelan-pelan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas.
Penurunan suku bunga kebijakan dan perbaikan kondisi finansial bank-bank dalam negeri akan meningkatkan kapasitas dan mereka memberikan pinjaman. Thoughts Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu mendapat perhatian. Dibalik idealisme reformasi struktural untuk meningkatkan kapasitas ekonomi kita untuk bertumbuh, terutama melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas produksi, reformasi pajak dan lain-lain, pemerintah perlu juga realistis dalam menghadapi pertumbuhan yang cenderung anemik saat ini. Pertumbuhan anemik yang berkepanjangan dapat bertransformasi menjadi sebuah vicious cycle, yaitu pertumbuhan yang rendah menurunkan kepercayaan diri pelaku ekonomi yang selanjutnya menurunkan aktivitas ekonomi mereka, dan seterusnya. Lingkaran setan ini harus dipotong. Tentu, ketika korporasi atau individu secara sendiri-sendiri tidak memiliki kemampuan dan kerpercayaan diri untuk memulai, pemerintahlah yang harus berdiri di depan. Ini merupakan esensi dari kebijakan fiskal.
Dalam kata lain, pemerintah harus ikhlas “mengorbankan” sedikit agenda jangka panjangnya untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi, termasuk mungkin crash program memberikan stimulasi pada sektor swasta dan bahkan rumah tangga. Setelah mampu melepaskan diri dari kebijakan populis subsidi BBM dan listrik, pemerintah jangan sampai terjatuh pada jebakan populis baru, yaitu memaksakan diri membangun proyek-proyek infrastruktur tertentu, yang belum memiliki skala prioritas tinggi, terutama di siklus ekonomi seperti saat ini. Juga, pemerintah tidak usah ragu-ragu untuk melebarkan defisit anggaran hingga maksimal yang dibolehkan UU, yaitu 3% atau setidaknya 2.92% seperti yang telah disetujui DPR.
Tingkat hutang pemerintah yang relatif rendah sangat memungkinkan untuk mengakomodasi defisit anggaran yang lebih besar. Setelah lebih dari satu dekade mengadopsi kebijakan fiskal dan pengelolaan hutang yang cukup konservatif, sekarang saat yang tepat untuk menggunakan sebagian kapasitas atau ruang fiskal yang terbangun selama ini. Tapi, seperti kita tahu, isu hutang selalu rawan untuk dieksploitasi alias “digoreng” secara politis. Tingkat hutang pemerintah Indonesia yang relatif rendah dan terjaga. Tentu, tweaking kebijakan fiskal (pendapatan dan belanja negara) harus ditemani oleh kebijakan moneter. Dari sisi tersebut, BI telah menurunkan suku bunga kebijakan dua kali berturut-turut belakangan ini.
Suku bunga pasar obligasi pun meluncur ke titik terendah. Namun, ada limit sejauh mana kondisi moneter dapat dilonggarkan. Bertanggung jawab mengelola kestabilan nilai tukar, BI tidak hanya mempertimbangkan inflasi domestik, tetapi juga stabilitas nilai Rupiah terhadap mata uang asing. Perlu keberhati-hatian dalam mensiasati risiko eksternal terhadap nilai tukar, seperti rencana the Fed (bank sentral AS) mengurangi balance sheet atau efektifnya mengurangi suplai likuiditas di pasar. Selain itu, kebijakan populis AS di bawah kepemimpinan Donald K Trump setiap waktu dapat membawa risiko pada aliran modal dan perdagangan dunia.
Dan, tentu, risiko geopolitik dari Korea Utara. “Stimulasi moneter” melalui penciptaan uang/pertumbuhan kredit bank dapat diharapkan membaik. Tapi perlu diingat, pertumbuhan kredit tergantung dari kapasitas suplai dari industri perbankan dan permintaan dari sektor riil itu sendiri. Just my two rupiahs, anyway, teman-teman. — — — — Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com.
Adapun tujuan dari adanya perubahan sistem ekonomi tersebut diharapkan membawa perubahan positif dalam perekonomian suatu negara. Hal ini di dasarkan pada kegiatan Ekonomi dalam perubahan Sistem Ekonomi mempunyai fungsi tertentu yang harus dijalankan selama berlangsungnya kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi dilakukan manusia dalam memperoleh barang atau jasa untuk rnemenuhi kebutuhan hidup. Jenis kegiatan ekonomi meliputi konsumsi, produksi, dan distribusi. Untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan ekonomi inilah, pemenintah menerapkan sistem ekonomi tertentu. Saat ini hampir tidak ada negara yang murni menerapkan sistem ekonomi terpusat atau pasar. Negara-negara yang cenderung menerapkan sistem ekonomi pasar antata lain Amerika Serikat, Hongkong, dan negara-negara di Eropa Barat. Sementara itu, negara yang pernah menerapkan bentuk daripada sistem ekonomi terpusat adalah Kuba, Polandia, dan Rusia.
Sedangkan untuk sebagian besar negara menganut sistem ekonomi campuran seperti Indonesia, Malaysia, dan Prancis. Pada perkembangannya, sistem ekonomi akan berubah karena adanya perubahan sistem politik. Perubahan politik dunia dapat memengaruhi perubahan sistem ekonomi suatu negara. Contohnya sistem ekonomi Uni Soviet beralih dan sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi liberal. Perubahan ni tidak lepas dan hancurnya sistem ekonomi yang berlaku pada masa itu.
Contoh Iainnya pada era sebelum tahun 1990-an sistem ekonomi Tiongkok bersifat tertutup atau menganut sistem ekonomi sosialis. Oleh karena hancurnya sistem ekonomi sosialis, pemerintah Tiongkok beralih ke sistem ekonomi pasar. Baca Juga;.
Demikianlah penjelasan dan pembahasan mengenai. Semoga dengan adanya tulisan ini bisa memberikan wawasan dan pengetahuan bagi segenap pembaca yang sedang mencari materi tentang “sistem ekonomi”, khususnya di Indonesia.